A.
ACEH
· ASAL MULA NAMA ACEH
Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling
utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan sebuah nama dengan
berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia
internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak
kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa
pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada
tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak
1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang
mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh
para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak
Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam
mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang
sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena
kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air
mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang
nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah
menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu
tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap.
Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.
Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan
Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat
rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai
Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah,
melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut
rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari
pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah
tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh
(Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang
Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh
sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara,
menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu;
Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain
sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung
Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari
Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa
Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang
juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum,
antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante
inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar)
yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400
Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang
dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama
sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu
menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah
pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India
Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama
Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni
atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah
kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya
Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ;
orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda
menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh.
Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal
nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih
banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di
antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke
Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini
disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat
menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan
berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan
sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat,
pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang.
Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain diceritakan
tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang
budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas
sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho,
alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan
gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang
kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut
sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak.
Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu
adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena
kamu sudah mengandung dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang
adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam
diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama
44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari
rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh
(Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman
dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya
karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk
setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi
nama Aceh.
10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang,
lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia
mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”.
Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan
sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi
Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan
rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri
raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh
yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan
tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari
rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata
aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan
antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh)
yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh
yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini
mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer
dari Hindia Belakang.
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia
yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian,
kerajinan dan perayaan. Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu:
·
Tamiang
Suku Aceh
merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh
yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit
perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan
Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas
diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan
mereka berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan
Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini
juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku
tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian,
musik dan adat istiadat.
Kebudayaan Aceh
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat
istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh
ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang,
daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan
lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan
menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias.
Aceh sangat lama
terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi keberadaan kebudayaannya.
Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-benda kerajinan yang
bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.
Di daerah Aceh
terdapat beberapa kebudayaan daerah yang menjadi ciri khas dari daerah Aceh.
Salah satu dari budaya Aceh adalah seni tarian saman dan rapai geleng. tarian
saman dan rapai geleng sangat terkenal di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu
karenakan ada gerakan yang unik dan khas dari tarian itu sendiri. Sehingga
jikalau ada yang menyaksikan tarian saman atau rapai geleng, pasti orang
tersebut akan langsung teringat kepada daerah asal tarian itu berkembang yaitu
daerah Aceh. Sebenarnya tarian ini hampir saja dilupakan oleh para remaja Aceh
saat ini. Karena sebagian orang mengangapnya sudah ketinggalan zaman.
Akan tetapi,
sebenarnya tarian ini sangat penting bagi pelestarian budaya aceh di masa yang
akan datang. selain sebagian orang yang menganggapnya ketinggalan zaman. Ada
beberapa pelajar dari berbagai daerah di Aceh yang mempelajari tarian ini di
sekolahnya masing-masing. Kegiatan pelajar ini sangatlah baik. Kegiatannya
inilah yang seharusnya didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Karena,
dengan adanya kegiatan pelajar untuk belajar tarian ini. Maka, pelestarian
budaya Aceh dapat terlaksana dengan baik. Dan generasi-generasi penerus di masa
yang akan datang dapat terus melihat budaya pendahulunya di Aceh tercinta ini.
C. UNSUR
ISLAM DALAM SENI DAN BUDAYA ACEH
Kesenian Aceh
pada dasarnya mempunyai ciri yang amat nyata, ya itu Islam didalamnya. Hal ini
disebabkan karena pengaruh Islam yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat
Aceh, terutama dalam kehidupan masyarakat Aceh masa lampau.
Dalam masyarakat
Aceh masa kini ajaran Islam itu tetap dipandang sebagai nilai yang esensial dan
masih sangat besar pengaruhnya sekalipun disamping itu pengaruh dari budaya
modern mulai besar pula. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran. Malah dalam
beberapa nilai konflik nilai-nilai dalam masyarakat Aceh sekalipun
nilai-nilai Islam masih tetap dominan.
Mari kita lihat
sekilas sejarah mengenai beberapa budaya dan seni Aceh diantara sekian banyak
budaya dan seni kebanggaan masyarakat Aceh.
1.
SEUDATI
Seudati
merupakan perpaduan antara seni tari, seni suara, seni sastra, karena selain
dari menari, para pelaku juga sekaligus meyakinkan kisah-kisah yang tersusun
secara bersajak dan dilagukan dengan berbagai lagu, pada permulaan sejarahnya,
seudati itu berfungsi sebagai tari pahlawan yang dilaksanakan untuk melepaskan
pasukan tentara yang akan berangkat ke medan juang dalam peperangan melawan
musuh,- menyambut pasukan tentara yang pulang dari medan perang, lebih kalau
pasukan itu pulang dengan membawa kemenangan, media dakwah, karena dalam kisah
yang diucapkan bersajak itu, dapat diselipkan berbagai ajaran yang perlu
didakwahkan.
Akan
tetapi kemudian oleh karena kesenian tersebut sangat digemari oleh rakyat, maka
diadakan juga pada waktu-waktu yang lain, bahkan dikampung-kampung. Akhirnya
fungsi berubah menjadi hiburan rakyat dan dipertandingkan dengan pemungutan
bayaran. Mula-mula tidak semalam suntuk, akan tetapi waktu pertandingan terjadi
berbalas kisah, karena masing-masing tidak mau kalah, maka akhirnya sampai pagi
hari, mataharilah yang memisahkan kedua belah pihak, akibatnya semua orang yang
menikmati hiburan tersebut terpaksa tidur semalam suntuk, tidak sempat mencari
rizki untuk belanja rumah tangga, disamping itu juga lama kelamaan timbul efek
samping lainnya, yaitu terjadi perzinaan dan pencurian dikampung-kampung yang
bersangkutan dan yang berdekatan, oleh karena itulah ulama Aceh membencinya,
malah mengharamkannya, judi haramnya itu, bukan haram zaty, artinya
bukan haram seudati atau keseniannya, melainkan haram karena akibat sampingan
yang merusak masyarakat, kalau hal ini dapat dihindarkan tidak masalah.
Para
pelaku seudati terdiri dari delapan orang penari ditambah satu atau anak
seudati yang bagus suaranya, oleh karena para seudati terdiri dari delapan
orang maka dinamakan saman berasal dari bahasa Arab yang berarti delapan, dan
oleh karena dalam permainan itu diceritakan bermacam-macam terutama sewaktu pertandingan,
maka dinamakan ratooh.
Pakaian
para penari terdiri dari baju kaos lengan panjang celana panjang berwarna hitam
atau putih yang agak genting pada bagian lutut dan kain sarung sutera berlipat
dua dililit dipinggang, kemudian disisi plah sebilah rencong, lambang pahlawan
Aceh dihulunya diikat denga kain kuning atau hijau, dikepalanya di ikat daster
sutera yang dalam bahasa Aceh disebut “tangkulok sutera”.
Oleh
karena seudati sangat digemari oleh segenap masyarakat Aceh, maka dalam
konferensi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang berlangsung di kutaraja
(sekarang Banda Aceh) pada tahun 1964 dibicarakan juga hukumnya, untuk
keperluan itu maka dibentuklah sebuah tim penelaah yang terdiri dari
tokoh-tokoh yang bertugas dijawatan agama keresidenan Aceh, akan tetapi karena
situasi belum mengizinkan karena masih berlangsungnya perlawanan fisik melawan
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia lagi, tambah pula ada antara
anggota tim itu meninggal dunia, maka tim tersebut tidak dapat menyelesaikan
tugasnya. Namun dalam rapat-rapat telah terdapat titik terang, asal saja dalam
pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang negatif.
2.
LAWEUT
Perkataan
laweut berasal dari perkataan “seulaweut” (seulaweut dalam bahasa Indonesia)
ini juga merupakan antara seni tari, seni suara dan seni sastra. Tari ini lebih
mirip dengan tari seudati, hanya pelakunya terdiri dari gadis-gadis, oleh
karena itu juga dinamakan dengan nama “seudati inong” (Seudati Perempuan) tarin
seudati ini berasal dari Aceh Pidie.
3.
UNSUR
ISLAM DALAM SENI RUPA
Seni
rupa juga berkembang di Aceh, akan tetapi perkembangannya sekarang tidak
menonjol sebagaimana keadaan pada masa lampau, seni rupa yang berkembang di
Aceh adalah seni arsitektur, seni ukir, dan seni dalam membuat sulaman, anyaman,
keramik, kopiah meukutop dan rencong, seni pahat dan seni lukis tidak
berkembang pada masa lampau, dari keduanya hanya seni lukis yang mulai
berkembang sekarang, sebab tidak berkembangnya seni pahat dan seni lukis pada
masa lampau di Aceh juga karena ajaran Islam.
Setelah
datangnya agama Islam maka pengaruh hindu yang ada di Aceh dihilangkan, maka
dilarang membuat patung atau gambar mahluk yang bernyawa, baik manusia maupun
hewan, larangan tersebut berdasarkan hadist ya itu: “ siapa yang melukis atau
menggambar sebuah gambar, maka dia akan disiksa tuhan sampai dia bisa
memberinya bernyawa, tapi selamanya tidak mungkin memberikan lukisan atau
patung itu bernyawa” (Saleh Kasim, 1986).
4.
SENI
ARSITEKTUR
Tercermin
dari rumoh Aceh yang sekarang masih ada sisa-sisanya, bentuk dari rumah
tradisional Aceh ini memanjang dari arah timur ke barat yang maksudnya dibuat
demikian adalah untuk memudahkan menentukan arah kiblat. Dibagian sebelah barat
maupun sebelah timur sejajar dengan kuda-kuda dan letaknya agak keluar,
terdapat tolak angin (tulak angen) yang sepenuhnya berisi ukiran-ukiran
yang merupakan kaligrafi yang berasal dari ayat-ayat al-Quran.
Demikian
pula pada pintu rumah yang disebut juga Pinto Aceh serta pada kisi-kisi
dan bingkai jendela terdapat juga ukiran-ukiran yang bermotif alam (misalnya
bunga) dan kaligrafi huruf Arab. Selain daripada itu, dalam mendirikan rumah
Aceh tradisional didirikan upacara yang bersifat religius, seperti halnya
mengadakan peusijuek, yang hal itu sebenarnya merupakan sisa-sisa
kebudayaan sebelum Islam datang, yaitu animisme dan dinamisme yang berbau
magis, namun dalam upacara itu telah dimasukkan ajaran Islam, misalnya
membacakan doa secara Islam bila acara mendirikan rumah itu selesai, disamping
hal-hal tersebut diatas masih dapat juga ditelusuri unsur-unsur Islam yang
terdapat dalam arsitektur Rumoh Aceh ( Rumah Aceh), misalnya dari
struktur ruangan-ruangan yang terdapat dalam rumah itu yang ada kaitan dengan
peranan-peranan daripada penghuninya. Jadi unsur Islam dalam seni arsitektur
Aceh sangat jelas.
5.
ANYAMAN
Anyaman
berkembang di Aceh sampai dengan sekarang, akan tetapi yang masih maju di
daerah-daerah pedalaman, akan tetapi didaerah perkotan anyaman tersebut sudah
minim, anyaman tersebut dibuat dari daun lontar dan pandan dalam bahasa Aceh
dinamakan sikee, anyaman yang biasa dibuat adalah tikar, diantaranya
adalah tikar sembahyang dan tikar orang mati, tikar sembahyang khusus dibuat
untuk maksud itu (tikar sajadah) dan disamping itu bentuk juga memperlihatkan
unsur Islam.
Bagian
depan menyerupai kubah mesjid, dan bagian pinggirnya menyerupai gigi buaya
sebanyak lima buah yang melambangkan bahwa seorang yang sedang bersembahyang
tidak boleh melakukan kegiatan lain ( misalnya berbicara) akan tetapi harus
kusyuk seakan-akan orang itu (hatinya) berbicara dengan tuhan.
6.
RENCONG
Timbul
Rencong di Aceh juga karena pengaruh Islam. Banyak simbol-simbol pada rencong
yang memperlihatkan unsur Islam didalamnya.
Unsur
Islam juga dapat ditelusuri dari cara membuatnya . untuk membuat sebuah rencong
adakalanya dilakukan dengan cara ilmu ghaib yaitu dengan mengurutkan besi atau
logam bahan rencong dengan jari tangan dengan membaca mantra-mantra dari
ayat al-quran sehingga ia benar-benar ampuh sebagai senjata.
Inilah
sekilas tentang seni dan budaya Aceh yang penuh dengan nilai-nilai religius dan
heroik, selama ini banyak daripada generasi Aceh yang tidak mengenal akan
budaya nenek moyang mereka, mereka lebih mengenal akan budaya-budaya asing
(budaya barat) yang sama sekali tidak cocok dengan kultur kita masyarakat Aceh
ini merupakan sebuah dilema bagi kelestarian budaya yang sangat kita cintai
ini, padahal seharusnya kita harus bangga dengan budaya kita itu yang berbeda
dengan budaya-budaya lain yang ada di dunia ini.
Semua
pihak harus bangkit dan bersatu menyelamatkan budaya kita, semua kita harus
mempunyai rasa memiliki dan rasa mencintai terhadapa budaya yang kita miliki,
setiap bangsa yang lupa akan budayanya maka bangsa tersebut akan kehilangan
jati diri. Mari kita bangkitkan kembali rasa cinta terhadap budaya kita kepada
segenap generasi kita sejak dini sebelum semuanya terlambat.
D. SEJARAH
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan
makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman
tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan
dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang
berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa
menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung
Melayu kepada Britania
Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan
Britania-Belanda
ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada
Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal
ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah
Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan
tersebut.
E. MAKANAN KHAS
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain
timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang
langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian
(boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
· TAHAPAN MELAMAR (BA RANUB)
Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang
sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang bijak
dalam berbicara (disebut theulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika
theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlabih dahulu dia akan
meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan
maksud melamar gadis itu.
Pada hari yang telah di sepakati datanglah
rombongan orang2 yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua gadis dengan
membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya seperti gambe, pineung
reuk, gapu, cengkih, pisang raja, kain atau baju serta penganan khas Aceh.
Setelah acara lamaran iini selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang
dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak
gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
·
TAHAPAN
PERTUNANGAN (JAKBA TANDA)
Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria
akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari
perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar
(disebut jeunamee) yang diminta dan beberapa banyak tamu yang akan diundang.
Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba
tanda)
Acara ini pihak pria akan mengantarkan
berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka
buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan
kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus ditengah jalan yang
disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan
dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas
tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.
·
PERSIAPAN
MENJELANG PERKAWINAN
Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat
aceh secara bergotong royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka
memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau
peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon
pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah
serta melakukan tradisi pingitan. Selama masa persiapan ini pula, sang gadis
akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun
mengaji.
Selain itu akan dialksanakan tradisi potong
gigi (disebut gohgigu) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengan cara dikikir.
Agar gigi sang calon pengantin terlihat kuat akan digunakan tempurung batok
kelapa yang dibakar lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut
ditempelkan pada bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan
perawatan luluran dan mandi uap
Selain tradisi merawat tubuh, calon pengantin
wanita akan melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau
bulu-bulu halus yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan
pemakaian daun pacar (disebut bohgaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon
pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan
warna merah yang terlihat alami.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan
mengadakan pengajian dan khataman AlQuran oleh calon pengantin wanita yang
selanjutnya disebut calon dara baro (CBD).Sesudahnya, dengan pakaian khusus,
CBD mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok)
dan didudukan pad asebuah tikaduk meukasap.
Dalam
acara ini akan terlihat beberapa orang ibu akan mengelilingi CBD sambil menari-nari
dan membawa syair yang bertujuan untuk memberikan nasihat kepada CBD. Pada saat
upacara siraman berlangsung, CBD akan
langsung disambut lalu dipangku
oleh nye’wanya atau saudara perempuan dari pihak orang tuanya. Kemudian satu
persatu anggota keluarga yang dituakan akan memberikan air siraman yang telah
diberikan beberapa jenis bunga-bungaan tertentu dan ditempatkan pada meundam
atau wadah yang telah dilapisi dengan kain warna berbeda-beda yang disesuaikan
dengan silsilah keluarga.
·
UPACARA AKAD NIKAH DAN ANTAR LINTO
Pada
hari H yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar linto (mengantar
pengantin pria). Namun sebelum berangkat kerumah keluarga CBD, calon pengantin
pria yang disebut calon linto baro(CLB) menyempatkan diri untuk terlebih dahulu
meminta ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya. Setelah itu CLB disertai
rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin yang
diminta dan seperangkat alat solat serta bingkisan yang diperuntukan bagi
CDB.
Sementara
itu sambil menunggu rombongan CLB tiba hingga acara ijab Kabul selesai
dilakukan, CDB hanya diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya
orangtua serta kerabat dekat saja yang akan menerima rombongan CLB. Saat akad
nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak diperkenankan hadir tetapi
dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin pria
bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat menghadiri
acara jamuan besan yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita.
Setelah
ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan jeunamee yaitu
mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram.
Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin
acara suap-suapan di antara kedua pengantin. Makna dari acara ini adalah agar
keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah tangga.
·
UPACARA PEUSIJEUK
Yaitu
dengan melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara
memerciki pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung
sambo, maneekmano, onseukee pulut, ongaca dan lain sebagainya minimal harus ada
tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa orang yang dituakan(sesepuh)
sekurangnya lima orang.
Tetapi
saat ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak
perlu dilakukan lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Tetapi
dikalangan ureungchik (orang yang sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan
tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam upacara perkawinan. Namun
kesemuanya tentu akan berpulang lagi kepada pihak keluarga selaku pihak
penyelenggara, apakah tradisi seperti ini masih perlu dilestarikan atau tidak
kepada generasi seterusnya.
Sumber: Beberapa diambil dari wikipedia dan sumber lain di google :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar