A.
Penggunaan EYD yang benar
pada penulisan huruf dan kata
1.
Penggunaan Huruf Kapital
a.
Jabatan tidak diikuti nama
orang
Dalam butir 5 Pedoman EYD dinyatakan, huruf
kapital dipakai sebagai huruf pertama unsure nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang
tertentu, nama instansi, atau nama tempat. Contoh : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Gubernur Jawa Barat, Profesor Jalaluddin Rakhmat, Sekretaris Jendral, Departemen
Pendidikan Nasional. Jabatan tidak diikuti nama orang tidak memakai huruf kapital. Contoh
: Menurut bupati, anggaran untuk pendidikan naik 25 % dari tahun sebelumnya.
b.
Huruf pertama nama bangsa
Dalam butir 7 dinyatakan, huruf kapital digunakan
sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Contoh
: bangsa Indonesia, suku Sunda, bahasa Inggris. Ditegaskan, huruf kapital tidak
dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang
dipakai bentuk dasar kata turun. Contoh : ke-Sunda-Sundaan, ke-Inggris-Inggrisan,
ke-Batak-Batakan, meng-Indonesiakan. Seharusnya : kesunda-sundaan, keinggris- inggrisan,
kebatak-batakan, mengindonesiakan.
c.
Nama geografi sebagai nama
jenis
Dalam butir 9 ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai
sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri. Contoh : berlayar
ke teluk, mandi di kali, menyebrangi selat, pergi ke arah tenggara, kacang bogor, salak bali,
pisang ambon, pepaya bangkok, nanas subang, tahu
sumedang, peuyeum bandung dan telur brebes.
d.
Setiap unsur bentuk ulang
sempurna
Dalam butir 11 dinyatakan, huruf kapital dipakai
sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang
terdapat pada nama badan lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen
resmi. Contoh : Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial, Yayasan Ahli-Ahli Bedah Plastik Jawa Barat, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara.
e.
Penulisan kata depan dan kata
sambung
Dalam butir 12 dinyatakan, huruf kapital dipakai
sebagai huruf pertama semua kata di dalam nama buku, majalah, surat
kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal. Biasanya
dipakai pada penulisan judul cerpen, novel. Contoh : Harimau Tua dan Ayam
Centil, Hari-Hari Penantian dalam Gua Neraka, Kado untuk Setan, Taksi
yang Menghilang.
2.
Penulisan Huruf Miring
a.
Penulisan nama buku
Pada butir 1 pedoman penulisan huruf miring
ditegaskan, huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama
buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. Contoh : Buku Jurnalistik
Indonesia, Majalah Sunda Mangle, Surat Kabar Bandung Pos.
b.
Penulisan penegasan kata dan
penulisan bahasa asing
Butir 2 pedoman penulisan huruf miring menyatakan, huruf
miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata,
kata, atau kelompok kata.
Contoh : boat modeling,
aeromodeling, motorsport.
c.
Penulisan kata ilmiah
Butir 3 pedoman penulisan huruf miring menegaskan,
huruf miring dan cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah dan ungkapan asing
kecuali yang telah disesuaikan ejaannya. Contoh : royal-purple
amethyst, crysacola, turqoisa, rhizopoda, lactobacillus, dsb.
3.
Penulisan Kata Turunan
a.
Gabungan kata dapat awalan
akhiran
Butir 3 pedoman kata turunan menegaskan, jika bentuk dasar
yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu
ditulis serangkai. Contoh : bertepuk tangan, garis bawahi, dilipatgandakan,
sebar luaskan.
b.
Gabungan kata dalam kombinasi
Butir 4 pedoman penulisan kata turunan menyatakan,
jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu
ditulis serangkai. Contoh : antarkota, antarsiswa,
antipornografi, antikekerasan, anti-Amerika, audiovisual, demoralisasi, dwiwarna,
dwibahasa, ekasila, ekstrakulikuler, interkoneksi, intrakampus, multifungsi, pramuwisma, tunakarya, tunarungu, prasejarah, pascapanen, tridaya,
rekondisi.
4.
Penulisan Gabungan Kata
a.
Penulisan gabungan kata istilah
khusus
Butir 2 pedoman penulisan gabungan kata mengingatkan,
gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan
pengertian dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan
pertalian di antara unsur yang bersangkutan. Contoh : alat pandang- dengar,
anak-istri saya, buku sejarah-baru, mesin-hitung tangan, ibu-bapak kami.
b.
Penulisan gabungan kata
serangkai
Butir 3 pedoman penulisan gabungan kata menegaskan,
gabungan kata berikut harus ditulis serangkai. Contoh : acapkali, adakalanya, akhirulkalam,
daripada, darmawisata, belasungkawa, dukacita,
kacamata, kasatmata, manakala, manasuka, matahari, olahraga, padahal,
peribahasa, radioaktif, saptamarga, saripati, sediakala, segitiga, sekalipun, sukacita,
sukarela, sukaria, titimangsa.
B. Penggunaan EYD yang benar pada partikel, singkatan, akronim, dan angka.
1. PENULISAN PARTIKEL
Penulisan partikel -lah, -kah, dan –tah Pedoman EYD
menetapkan ketentuan pertama menyatakan partikel -lah, -kah, dan –tah ditulis
serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Contoh : bacalah, tidurlah, apakah,
siapakah, apatah.
a.
Penulisan partikel pun
Butir 2 tentang penulisan partikel mengingatkan,
partikel pun dituliskan terpisah dari kata yang mendahuluinya.
b.
Penulisan partikel per
Butir 3 tentang penulisan partikel menyebutkan,
pertikel per yang berarti mulai, demi, dan tiap ditulis terpisah dari
bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.
2. PENULISAN SINGKATAN
Pedoman EYD menegaskan,
singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau
lebih. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau
organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis
dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
a.
Penulisan singkatan umum tiga
huruf
Pedoman EYD
mengingatkan, singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti
satu tanda titik. Kaidah bahasa jurnalistik dengan tegas melarang pemakaian
singkatan umum seperti ini dalam setiap karya jurnalistik seperti tajuk
renacana, pojok, artikel, kolom, surat pembaca, berita, teks foto, feature.
Bahasa jurnalistik juga dengan tegas melarang penggunaan singkatan jenis ini
dalam judul tajuk, artikel, surat pembaca, atau judul-judul berita.
b.
Penulisan singkatan mata uang
Pedoman EYD menegaskan,
lambang kimia, singkatan satuan ukuran , takaran, timbangan, dan mata uang
tidak diikuti tanda titik.
4
3. PENULISAN AKRONIM
Menurut Pedoman EYD, akronim ialah singkatan
yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan
suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
Pertama, akronim nama
diri berupa gabunga suku kata. Kedua, akronim yang bukan nama diri
berupa gabungan huruf.
a.
Akronim nama diri
Pedoman EYD menyatakan,
akronim nama diri yag berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku
kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.
b.
Akronim bukan nama diri
Menurut Pedoman EYD, akronim yang bukan nama
diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku
kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.
Sebagai catatan, Pedoman EYD mengingatkan, jika
dianggap perlu membentuk akronim, maka harus diperhatikan dua syarat
Pertama, jumlah suku
akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia.
Kedua, akronim dibentuk
yang sesuai dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang
sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim
4. PENULISAN ANGKA
Pedoman EYD menetapkan
empat jenis penulisan angka,
Pertama, angka dipakai
untuk menyatakan lambing bilangan atau nomor. Dalam tulisan lazim digunakan
angka Arab atau angka Romawi.
Kedua, angka digunakan
untuk menyatakan :
(1) ukuran panjang, berat, luas, dan isi,
(2) satuan waktu,
(3) nilai uang, dan
(4) kuanitas.
Ketiga, angka lazim
dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, aparteman, atau kamar pada
alamat.
Keempat, angka
digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
5. PENULISAN LAMBANG BILANGAN
Dari delapan jenis penulisan bilangan yang diatur
dalam Pedoman EYD, empat diantaranya perlu dibahas disini. Ini mengingat
apa yang dibolehkan dalam Pedoman EYD, belum tentu dibolehkan pula dalam
bahsa jurnalistik.
a.
Penulisan lambang bilangan
satu-dua kata
Pedoman EYD menetapkan,
penulisan lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata
ditulis dengan huruf kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara
berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan.
b.
Penulisan lambang bilangan awal
kalimat
Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan
huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat
dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat.
c.
Penulisan lambang bilangan utuh
Angka yang menunjukan bilangan utuh yang besar dapat
dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca. Ketentuan dalam Pedoman EYD
ini sangat sejalan dengan kaidah bahasa jurnalistik yang senantiasa menuntut
kesederhanaan dan kemudahan.
d.
Penulisan lambang bilangan
angka-huruf
Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf
sekaligus dalam teks kecuali didalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
(ash3).com
C. Penggunaan Tanda Baca
1.
Tanda Titik ( . )
a.
Tanda
titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya: Ayahku tinggal di Solo.
Biarlah mereka duduk di sana.
Dia menanyakan
siapa yang akan datang.
b.
Tanda titik dipakai pada akhir singkatan nama orang.
Misalnya: A. S. Kramawijaya
Muh. Yamin
c.
Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan,
pangkat, dan sapaan
Misalnya: Bc.
Hk. (Bakalaureat Hukum)
Dr.
(Doktor)
2. Tanda Koma ( , )
a.
Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian atau
pembilangan.
Misalnya: Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Satu, dua, . . . tiga!
b.
Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat
setara berikutnya yang didahului oleh kata tetapi dan melainkan.
Misalnya: Saya ingin datang,
tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
3. Tanda Titik Koma ( ; )
a.
Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagianbagian kalimat yang
sejenis dan setara.
Misalnya:
Malam
makin larut; kami belum selesai juga.
b.
Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam suatu kalimat majemuk sebagai
pengganti kata penghubung.
Misalnya:
Ayah mengurus tanaman di kebun; ibu sibuk bekerja di dapur; adik menghafalkan
nama-nama pahlawan nasional; saya sendiri asyik mendengarkan siaran pilihan pendengar.
4. Tanda Titik Dua ( : )
a.
Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti rangkaian atau pemerian.
Misalnya: Yang kita
perlukan sekarang ialah barang yang berikut: ’kursi,
meja, dan lemari’.
Fakultas itu mempunyai dua jurusan: Ekonorni Umum dan Ekonomi Perusahaan.
b.
Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang
memerlukan
pemerian.
Misalnya: a.
Ketua :
Ahmad Wijaya
Sekretaris : S. Handayani
Bendahara
: B. Hartawan
b. Tempat sidang : Ruang 104
Pengantar Acara :
Bambang S.
Hari :
Senin
Jam
: 9.30 pagi
5. Tanda Hubung ( - )
a.
Tanda
hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris.
Misalnya: ... ada cara ba-ru juga.
Suku kata yang
terdiri atas satu huruf tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja
pada ujung baris.
b.
Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya, atau akhiran dengan bagian kata
di depannya pada
Misalnya: ... cara baru meng-ukur panas.
... cara baru me-ngukur kelapa.
... alat
pertahan-an yang baru.
Akhiran -i tidak
dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris.
c.
Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang.
Misalnya: anak-anak
berulang-ulang
dibolak-balikkan
kemerah-merahan
Tanda ulang (2) hanya
digunakan pada tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.
6. Tanda Pisah ( - )
a.
Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat
yang memberi penjelasan khusus di luar
bangun kalimat.
Misalnya:
Kemerdekaan bangsa itu -saya yakin akan
tercapai- diperjuangkan oleh bangsa
itu sendiri.
b.
Tanda
pisah menegaskan adanya aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
Misalnya:
Rangkaian penemuan ini-evolusi, teori kenisbisan, dan kini juga pembedahan
atom- tidak mengubah konsepsi kita tentang alam semesta.
7. Tanda Elipsis ( ... )
a.
Tanda elipsis menggambarkan kalimat yang terputus-putus.
Misalnya: Kalau begitu ... ya, marilah kita
bergerak.
b.
Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang
dihilangkan.
Misalnya:
Sebab-sebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.
8. Tanda Tanya ( ? )
a.
Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya
Misalnya: Kapan ia berangkat?
Misalnya: Kapan ia berangkat?
Saudara tahu bukan?
b.
Tanda tanya dipakai di antara tanda kurung untuk
menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
Misalnya:
la dilahirkan pada tahun 1683 (?).
Uangnya sebanyak 10 juta rupiah (?) hilang.
9. Tanda Seru ( ! )
Tanda seru dipakai sesudah
ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah, atau yang
menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau rasa emosi yang kuat.
Misalnya: Alangkah
seramnya peristiwa itu!
Bersihkan kamar ini sekarang juga!
Masakan! Sampai hati juga ia meninggalkan
anaknya!
Merdeka!
Merdeka!
10. Tanda Kurung ( ( ) )
a.
Tanda
kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
Misalnya: DIP
(Daftar Isian Proyek) kantor itu sudah selesai.
b.
Tanda
kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok
pembicaraan.
Misalnya:
Sajak Tranggono yang berjudul "Ubud" (nama tempat yang terkenal di Bali) ditulis pada tahun
1962.
c.
Tanda
kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu seri keterangan. Angka
atau huruf itu dapat juga diikuti oleh kurung tutup saja.
Misalnya:
Faktor-faktor produksi menyangkut masalah berikut:
(a)
alam,
(b)
tenaga
kerja, dan
(c)
modal.
Faktor-faktor produksi menyangkut masalah (a)
alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.
11. Tanda Kurung Siku ( [ ... ] )
a.
Tanda
kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian
kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu jadi isyarat bahwa kesalahan itu
memang terdapat di dalam naskah
asal.
Misalnya: Sang
Sapurba men[d] engar bunyi gemerisik.
b.
Tanda
kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda
kurung.
Misalnya: (Perbedaan antara dua macam proses
ini [lihat BabI]
tidak
dibicarakan.)
12. Tanda Petik ( "..." )
a.
Tanda
petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah, atau
bahan tertulis lain. Kedua pasang tanda petik itu ditulis sama tinggi di
sebelah atas baris.
Misalnya:
"Sudah siap?" tanya Awal.
"Saya belum siap," seru Mira,
"tunggu sebentar!"
b.
Tanda
petik mengapit judul syair, karangan, dan bab buku, apabila dipakai dalam kalimat.
Misalnya:
Bacalah "Bola Lampu" dalam buku Dari Suatu Masa,
dari
Suatu Tempat.
13. Tanda Petik Tunggal ( '...' )
a.
Tanda
petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan
lain.
Misalnya:
Tanya Basri, "Kaudengar bunyi 'kring-kring' tadi?"
"Waktu kubuka pintu kamar depan, kudengar teriak
"Waktu kubuka pintu kamar depan, kudengar teriak
anakku, 'Ibu, Bapak pulang',
dan rasa letihku lenyap seketika," ujar Pak Hamdan.
dan rasa letihku lenyap seketika," ujar Pak Hamdan.
b.
Tanda
petik tunggal mengapit terjemahan atau penjelasan kata atau ungkapan asing
(Lihat pemakaian tanada kurung)
Misalnya: rate
of inflation ’laju
inflasi’
14. Tanda Ulang ( ...2 ) (angka 2 biasa)
Tanda ulang dapat dipakai dalam tulisan cepat dan
notula untuk menyatakan pengulangan kata
dasar.
Misalnya: kata2
lebih2
sekali2
sekali2
15. Tanda Garis Miring ( / )
a.
Tanda
garis miring dipakai dalam penomoran kode surat.
Misalnya: No.
7/PK/1973
b.
Tanda
garis miring dipakai sebagai pengganti kata dan, atau, per, atau nomor
alamat.
Misalnya:
mahasiswa/mahasiswi
harganya Rp 15,00/lembar
Jalan Daksinapati IV/3
16. Tanda Penyingkat (Apostrof) ( ' )
Tanda apostrof menunjukkan penghilangan
bagian kata.
Misalnya:
Ali 'kan kusurati ('kan = akan)
Malam 'lah
tiba ('lah = telah)
Daftar Pustaka
Finoza,
Laminuddin. 2004. Komposisi Bahasa
Indonesia untuk Mahasiswa Non Jurusan
Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Doyin, Mukh.
2009. Membaca EYD. Jakarta: Landangan
Institute.
Lingga, Hanu.
2009. Pedoman EYD. Jakarta: Tim
Sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar