Sejarah Agama Buddha dimulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang
Buddha Siddharta Gautama.
Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia.
Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsur kebudayaan India,
ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini,
agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama
Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta
perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran tradisi Theravada , Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai
dengan masa pasang dan surut.
Kitab Suci agama Buddha adalah Tri Pitaka. Tri itu bermakna
tiga, dan pitaka itu bermakna bakul, tapi dimaksudkan adalah bakul
hikmat.hingga Tripitaka itu bermakna Tiga Himpunan Hikmat, yaitu;
- Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan kotbah Buddha Gautama.Bagian terbesar berisi percakapan antara Buddha dengan muridnya.Didalamnya juga termasuk kitab-kitab tenyang pertekunan (meditasi),dan peribadatan,himpunan kata-kata hikmat,himpunan sajak-sajak agamawi,kisah berbagai orang suci. Keseluruhan himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam agama Buddha.
- Vinaya Pitaka, berisikan Pattimokkha,yakni peraturan tata hidup setiap anggota biara-biara (sangha). Didalam himpunan itu termasuk Maha Vagga, berisikan sejarah pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha beserta hal-hal yang berkaitan dengan biara. Himpunan Vinaya-pitaka itu ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang dipanggilkan dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
- Abidharma-pitaka, yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar dalam agama Buddha, bermakna : dhamma lanjutan atau dhamma khusus. Berisikan berbagai himpunan yang mempunyai nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan,berisikan pembahasan mendalam tentang proses pemikiran dan proses kesadaran. Paling terkenal dalam himpunan itu ialah milinda-panha (dialog dengan raja Milinda) dan pula Visuddhi maga (jalan menuju kesucian).
LATAR BELAKANG LAHIRNYA AGAMA BUDDHA
1.
Kondisi sosial,politik dan sosial India
Agama
Buddha lahir akibat kondisi sosial dan politik India yang pada saat itu sangat
memperihatinkan,dimana di India pada saat itu banyak rakyat yang menderita
sedangkan kehidupan raja di Istana sangat mewah.
2.
Ketidak puasan terhadap doktrin brahmana
Ketika
agama hindu berkembang dengan pesat, ketamakan kaum brahmana makin menjadi.
Karena hanya mereka yang mampu membaca serta menyelenggarakan berbagai upacara
keagamaan mereka mulai mulai mengkomersilkan profesinya secara berlebihan. Upah
yang diminta tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan sehingga masyarakat
mulai jenuh dengan tingkah laku mereka. Jalan upacara korban pun sangat rumit,
sehingga reformasi sebagai satu-satunya jalan menuju sorga. Sebagai reaksi
langsung bermunculan berbagai aliran yang menentang agama Hindu di masyarakat.
Ada tiga aliran
yang paling menonjol pada saat itu:
·
Pertama aliran yang dianjurkan oleh
jabali berpendapat bahwa tidak ada surga,tidak ada kehidupan akhir,tidak ada
agama dan penyiksaan diri.Karena itu bersenang-senanglah di dalam hidup. Hidup
Cuma sekali, tidak ada samsara, tidak mengenal dosa, aliran ini mengejek
upacara keagamaan yang dianggap membodohkan masyarakat dan merupakan sumber
kebodohan kaum brahmana. Aliran ini terutama diikuti oleh orang yang
digolongkan dalam golongan paria dalam agama Hindu.
·
Kedua,aliran yang dipinpin oleh mahavira
dan akhirnya disebut jaina. Yang ini lain lagi sangat bertolak belakang dengan
yang pertama. Aliran jaina mencari kebahagiaan abadi dengan berbagai peraturan
hidup yang keras. tidak boleh membunuh binatang terkecilpun mereka hindari.ngan
berbagai tarikat untuk mencapai keselamatan hidup yang akan datang adalah
perbuatan terpuji. Apalagi sampai membinasakan diri. Membunuh diri sendiri
merupakan jaminan untuk hidup bahagia di alam baka.
·
Aliran ketiga muncul sebagi aliran yang
merupakan jembatan emas dalam masyarakat. Dinamakan demikian karena aliran ini
dibawa oleh seseorang Gautama yang mendapat ilham untuk menyebarkan agama
bersama budha yang menjebatani kedua aliran terdahulu. Agama Budha mengambil
jalan tengah dalam menempuh hidup ini. Tidak hanya dengan bersenang-senang saja
atau dengan mematuhi peraturan yang terlalu keras menyiksa diri.
Sidartha
Gautama adalah putra dari raja Suddhodhana dari kerajaan Kavilawastu, Ibunya
Dewi Maya dari kota dewadata kota kecil di Kavilawastu yang wilayahnya meliputi
wilayah Nepal, Bhutan dan Shikkim sekarang. Ia merupakan lapisan ksatria.
SOLUSI AGAMA BUDDHA DALAM MENCAPAI
KEBAHAGIAAN
Budha
Gautama menerima dan melanjutkan ajaran agama Brahma / Hindu tentang karma.
Yakni hukum sebab akibat dari tindak laku di dalam kehidupan, dan ajaran
tentang samsara, yakni lahir berulang kali ke dunia sebagai lanjutan karma dan
ajaran tentang moksa yakni pemurnian hidup itu guna terbebas dari Karma dan Samsara.
Sekalipun
Budha Gautama menerima ajaran tentang karma dan samsara itu akan tetapi aia
menyelidiki dan meneliti pangkal sebab dari keseluruhannya itu, dan merumuskan
di dalam Empat Kebenaran Utama.
Sekalipun
Budha Gautama menerima ajaran tentang Moksa itu, akan tetapi ia tidak dapat menerima
dan membenarkan upacara-upacara kebaktian penuh korban mencapai moksa itu, dan
lalu menunjukkan jalan yang hakiki bagi mencapai Moksha yang dirumuskan dengan Delapan Jalan Kebaktian.
Kotbah
Pertama Budha Gautama di Isipathana, dalam Taman Menjangan, dekat Benares,
berisikan uraian panjang lebar mengenai “Empat Kebenaran Utama” yang pada
dasarnya merupakan pendekatan Budha dalam memecahkan masalah kehidupan ini dan
Delapan Jalan Kebaktian itu.
Ajaran-ajaran Agama Buddha
Ada beberapa
ajaran pada agama budha, yakni :
1.
Empat kebenaran utama (khutbah pertama
sang budha )
· “Dukha”
Lahirnya manusia, menjadi tua dan meninggal dunia,
· “Samudaya”
Penderitaan itu di sebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu,
· “Nirodha”
Penderitaan dapat di hilangkan, dengan hati ikhlas dan hawa nafsu ditahan,
· “Magga”
(jalan). Buddha mengemukakan empat tingkatan jalan yang harus dilalui yaitu:
a. Sila
( kebajikan)
b. Samadhi
(perenungan)
c. Panna
(pengetahuan atau hikmat)
d. Wimukti
(kelepasan)
Kemudian
keempat tingkatan ini diselaraskan dengan delapan jalan tengah atau jalan kebenaran (Astavida) atau Arya
Attangika Mangga:
a.
Berpandangan yang benar
b.
Berniat yang benar
c.
Berbicara yang benar
d.
Berbuat yang benar
e.
Berpenghidupan yang benar
f.
Berusaha yang benar
g.
Berperhatian yang benar
h.
Memusatkan pemikiran yang benar
2.
Ada tiga pengakuan dalam agama budha
yaitu ;
· Buddhan
saranan gacchami (saya berlindung didalam budha),
· Dhamman
saranam gacchami (saya berlindung didalam dhamman),
· Sangham
saranam gacchami (saya berlindung didalam sangha ).
3. Dassasila (sepuluh peraturan ) bagi penganut
agama budha.
Setiap penganut
agama budha dari golongan bikshu, maupun pengikut biasa. Jika mereka perempuan
harus berusaha mencapai keselamatan dan melepaskan diri dari lingkungan hawa
nafsu, dan memiliki akhlak serta sifat-sifat keutamaan dengan menjalankan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sang budha, dassasila (sepuluh
peraturan), yaitu:
· Jangan
mengganggu dan menyakiti makhluk,
· Jangan
menggambil apa yang tidak di berikan,
· Jangan
berzina,
· Jangan
berkata bohong,
· Jangan
meminum barang yang bisa memabukkan.
Dan
untuk golongan biksu ditambah lima lagi, yaitu:
· Jangan
makan bukan pada waktunya,
· Jangan
menonton dan menghadiri pertunjukan,
· Jangan
memakai perhiasan emas dan wangi-wangian,
· Jangan
tidur di tempat yang enak,
· Jangan
mau menerima hadiah uang.
Rukun syarat beragama budha
Adapun
rukun beragama budha dan ketentuan-ketentuan dalam beragama budha adalah
sebagai berikut:
· Tiap-tiap
orang hendaklah berusaha mengetahui budha itu sedalam dalam nya.
· Manusia
harus mempunyai sukma yang halus
· Manusia
jangan sampai melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain
· Manusia
harus mencari penghidupan yang tidak mendatangkan kebinasaan bagi orang lain.
· Tiap
tiap orang harus mempunyai niat yang suci dan bersih
· Tiap
tiap orang hendaknya memikirkan semua mahkluk
· Manusaia
hendaklah mempunyai roh yang kuat untuk menciptakan kebaikan dan menghilangkan
kejahatan.
KRITIK AGAMA BUDDHA TERHADAP VEDA MAUPUN
BRAHMANA
Ini
berawal dari situasi India menjelang lahirnya Budhisme dalam keadaan kacau, hal
ini disebabkan karena serangan bangsa-bangsa dari luar India secara
bertubi-tubi. Keadaan ini menimbulkan beban psikhologis bagi masyarakat India
berupa timbulnya kebingungan, kekecewaan, dan keraguan terhadap apa yang selama
ini dijadikan pedoman hidup beragama dan bernegara. Dari sinilah timbul krisis
kepercayaan. Ini terbukti bahwa bangsa Arya yang selama ini merasa paling
unggul dan jauh lebih maju dari penduduk asli India ternyata mengalami
kekalahan ketika melawan bangsa luar. Dan saat itulah pedoman hidup yang selama
ini mereka pakai yang bersumber dari veda maupun brahmana mulai dipertanyakan
sebagai sumber kepercayaan maupun sebagai pedoman hidup yang mendatangkan
kebahagiaan atau kesejahteraan hidup di dunia.
Dengan
demikian orang mulai mempertanyakan kebenaran ajaran Brahmana yang sangat
menekankan upacara persajian yang rumit, jelimet, dan formalitas sebagai
satu-satunya jalan untuk memperoleh kesejahteraan atau kebebasan tersebut.
Dalam
situasi yang demikian inilah agama Budha menyampaikan kritikan-kritikan yang
tajam. Beberapa penyimpangan yang dikritik oleh Budha adalah antara lain:
1.
Otoritas kaum Brahmana dan
ketergantungan seseorang kepadanya
2.
Upacara persajian yang rumit , jelimet,
formalitas, dan kuno
3.
Doa yang membuat para dewa tidak berdaya
dihadapan pendeta (Imam)
4.
Budha mengkritik ajaran Brahmana bahwa
proses pembebasan itu sangat panjang yaitu harus melewati jenjang Brahmana.
Alasannya yaitu menurut Budha, bagaimana mungkin perbuatan yang sama baiknya,
namun karena berbeda stastusnya, bisa mendatangkan pahala yang berbeda.
5.
Budha sangat menentang dominasi Brahmana
serta mengkritik doktrin Brahmana atau menentang legitimasi Weda. Doktrin
Brahmana yaitu, pertama, menyatakan Weda sebagai satu-satunya sumber kebajikan,
kebenaran spiritual dan ritual. Kedua, menyatakan Brahmana sebagai warga yang
paling terhormat dalam rangkaian konsepsi Wanasrama yang dianut oleh ajaran
Bramanisme.
Selain
menolak jalan upacara mencapai moksa atau nirwana, jalan penyiksaan diri yang
keras sebagaimana yang diajarkan oleh Yoga juga ditolak.
Kehidupan
Buddha
Menurut
tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya
pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota,
selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal
sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah
perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan
Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan
sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya
adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan
kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa.
Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari
jalan tengah (majhima
patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara
kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa
yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia
berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan.
Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha"
saja, sebuah kata dalam Sanskerta yang
berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran
Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari
menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan
ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun
selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha
Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang
didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
Tahap Awal Agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah
perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya
sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk
agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan
dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan
catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan
agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa
perpecahan dalam gerakan Buddha.
·
Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama
setelah Buddha wafat di bawah perlindungan raja Ajatasattu
dari Kekaisaran Magadha,
dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut Rajgir).
Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (sutta
(Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik
(vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan saudara
sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali,
seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan
dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.
·
Konsili Kedua Buddha
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja
Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan
gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha
adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai
oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran
Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat.
Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu
individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat
tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status
Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi
pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian
besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan
"besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran
kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad
di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut
prasasti-prasasti Kharoshti
yang ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.
Dakwah Asoka (±260 SM)
Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Buddha
setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali
perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan
kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa
dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup
dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.
Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar
India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam
Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama
Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah
tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
·
Konsili Buddha Ketiga (±250 SM)
Maharaja Asoka
memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di Pataliputra
(sekarang Patna).
Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah
rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha,
terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan
kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang
dikenal.
Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sanskerta, dan secara harafiah berarti "Tiga Keranjang"),
yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan dianggap diturunkan
langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri
dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma
Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk
memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang
muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin
(yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka
menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi.
Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang
Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya.
Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan
terjadi pada saat yang sama.
·
Dunia Helenistik
Beberapa prasati Piagam
Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka
untuk mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu
berkesinambungan tanpa putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka
menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah
Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka
disebut sebagai penerima dakwah agama Buddha: Antiokhus
II Theos dari Kerajaan Seleukus (261–246 SM), Ptolemeus II
Filadelfos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus
Gonatas dari Makedonia (276–239 SM), Magas
dari Kirene (288–258 SM), dan Alexander
dari Epirus (272–255 SM).
Dakwah agama Buddha semasa pemerintahan maharaja Asoka
(260–218 SM).
"Penaklukan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan
dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer)
jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat
raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di
sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya,
dan sejauh Tamraparni." (Piagam
Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)
Kemudian, menurut beberapa sumber dalam bahasa Pali, beberapa utusan Asoka adalah
bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama antara kedua
budaya ini:
"Ketika
sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka)
telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang
satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang
biasanya merujuk Gujarat dan Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona)
bernama Dhammarakkhita".
(Mahavamsa
XII).
Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh,
tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai tingkat tertentu ada sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran
Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan keberadaan
komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di Alexandria (disebut oleh Clemens dari Alexandria), dan keberadaan sebuah
ordo-monastik
pra-Kristen bernama Therapeutae
(kemungkinan diambil dari kata Pali "Theraputta"),
yang kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu
tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).
Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah
mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan"
dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra
Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja Alexander
Yaneus (103-76 SM). Alexander Yaneus
dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes,
yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji
delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang Romawi menginvasi Yudea
pada 63 SM.
Batu-batu nisan Buddha dari era
Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan
Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam
mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar
menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen yang
paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").
·
Ekspansi ke Asia
Di daerah-daerah sebelah
timur anak benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya India
banyak memengaruhi sukubangsa Mon.
Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun 200 SM berkat dakwah maharaja Asoka
dari India, sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan Hinayana. Candi-candi Buddha Mon awal, seperti
Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari abad pertama sampai abad ke-5 Masehi.
Seni
Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta
dan periode pasca Gupta. Gaya manneris mereka menyebar
di Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon
antara abad ke-5 dan abad ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian
utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara bertahap
dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.
Agama Buddha konon dibawa
ke Sri Lanka oleh putra Asoka Mahinda
dan enam kawannya semasa abad ke-2 SM. Mereka
berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk
agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara Mahavihara,
pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt. Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa
kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah 29–17 SM), dan tradisi Theravada berkembang di
sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti Buddhaghosa
(abad ke-4 sampai ke-5).
Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu,
akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng
terakhir aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke Asia Tenggara mulai abad ke-11.
Ada pula sebuah legenda,
yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah
mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan Himalaya, menuju ke Khotan di dataran
rendah Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa Indo-Eropa, bangsa Tokharia.
Penindasan oleh dinasti
Sungga
(abad ke-2 sampai abad ke-1
SM)
Dinasti
Sungga (185–73 SM) didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun) setelah mangkatnya
maharaja Asoka. Setelah membunuh Raja Brhadrata
(raja terakhir dinasti Maurya),
hulubalang tentara Pusyamitra
Sunga naik takhta. Ia adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena
kebencian dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah
"merusak wihara dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434):
84.000 stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak
(R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu
Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81 dst. dikutip di
Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha diubah menjadi
kuil Hindu, seperti di Nalanda, Bodhgaya,
Sarnath, dan Mathura.
Interaksi Buddha-Yunani
(abad ke-2 sampai abad
pertama Masehi)
Di wilayah-wilayah barat Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang
bertetangga sudah ada di Baktria (sekarang di
Afghanistan utara) semenjak penaklukan oleh Alexander yang Agung
pada sekitar 326 SM: pertama-tama kaum Seleukus dari kurang lebih tahun 323 SM, lalu Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun 250 SM.
Raja Baktria-Yunani
Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada
tahun 180 SM dan sampai sejauh Pataliputra.
Kemudian sebuah Kerajaan Yunani-India
didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir abad
pertama SM.
Agama Buddha berkembang di
bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud mereka
menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Kekaisaran Maurya dan melindungi para penganut
Buddha dari penindasan kaum Sungga (185–73 SM).
Salah seorang raja Yunani-India
yang termasyhur adalah Raja Menander
I (yang berkuasa dari ±160–135 SM). Kelihatannya
beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini,
sama dengan maharaja Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang
akan datang, raja Kaniska.
Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma"
dalam aksara
Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog
Milinda
Panha antara raja Yunani Menander
I dan sang bhiksu Nagasena pada sekitar tahun
160 SM. Setelah mangkatnya, maka demi
menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan
ditaruh di stupa-stupa tempat pemujaannya, mirip dengan
sang Buddha Gautama (Plutarkhus, Praec. reip.
ger. 28, 6).
Interaksi antara budaya
Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran Mahayana, sementara kepercayaan ini
mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang
mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha
secara antropomorfis
dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya seni Buddha-Yunani:
"One might regard the classical influence as including the general idea of
representing a man-god in this purely human form, which was of course well
familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's
treatment of their gods was indeed an important factor in the innovation"
(Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").
Berkembangnya aliran
Mahayana
(Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Berkembangnya agama Buddha
Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi
dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan
Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa
yang berasal dari Asia Tengah, yaitu
kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi,
yang mendirikan Kekaisaran Kushan
dari kira-kira tahun 12 SM.
Kaum Kushan menunjang agama
Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja Kanishka, pada kira-kira tahun 100
Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan
dengan munculnya aliran Mahayana secara resmi dan
pecahnya aliran ini dengan aliran Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui
keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib
bidaah".
Konon Kanishka mengumpulkan
500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh
Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka dan memberikan
komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih
dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk
diselesaikan.
Konsili ini tidak
berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci
diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks
suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari
dan aksara
Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sanskerta yang sudah menjadi bahasa
klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam
penyebaran pemikiran Buddha.
Wujud baru Buddhisme ini
ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan
Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup
memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan".
Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang
berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.
Penyebaran Mahayana
(Abad pertama sampai abad
ke-10 Masehi)
Penyebaran aliran Mahayana antara abad pertama - abad ke-10
Masehi.
Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad,
Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea,
dan akhirnya Jepang pada tahun 538.
Kelahiran kembali Theravada
(abad ke-11 sampai sekarang)
Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua
India oleh serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia
Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah
perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke Cina
terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran Theravada Pali
kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11 dari Sri Lanka.
Raja Anawrahta (1044–1077),
pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan negara
dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha Pagan,
ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih
berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan
ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang
Mongolia pada 1287, tetapi aliran Buddha
Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.
Kepercayaan Theravada juga
dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai
sekitar 1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama
masa Ayutthaya (abad ke-14 sampai abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat
Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos
dan Kamboja pada abad ke-13.
Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan
kepulauan Asia Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat,
mengembang ke dalam Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke
selatan Filipina.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_agama_Buddha
http://jhoul.wordpress.com/2012/07/20/sejarah-lahirnya-agama-budha/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar